Perjalanan menyenangkan nan menegangkan terjadi hari Minggu
ini. Tujuan memang sudah direncanakan berapa hari yang lalu. Aik Nangkak. Yup,
nama yang sangat asing, belum pernah ku dengar sebelumnya.
Tidak banyak persiapan yang berarti, pagi itu kita berangkat
ke Kecamatan Membalong. Menjemput seorang teman, istirahat sembari menunggu
waktu shalat Dhuhur.
Seusai shalat perjalanan utama akan dimulai, menuju tempat
yang akan kami kunjungi hari ini. 5 personil wanita cukup ramai untuk menyusuri
hutan.
Medannya menuju kesana memang cukup menantang. Bahkan kami
sempat ragu dan berbalik arah, lantaran tak yakin jikalau jalan itu yang mesti
di lewati untuk menuju sebuah tempat wisata. Untung saja, ada beberapa orang yang
juga memiliki tujuan yang sama, kami mengikuti sebagai petunjuk arah. Jalan tanah merah dan jembatan dari kayu-kayu
yang berdiameter tidak seberapa lebar. Cukup menguji kami yang hanya
menggunakan motor metic.
Di pondok pertama yang kami temui, disana kami memarkir
motor, ya, kami harus berjalan untuk menuju tempat itu. Tak ada seorang pun
dari kami yang pernah ke sana. Karena terlalu berlama-lama memarkirkan motor,
kami kehilangan jejak orang-orang tadi.
Baru saja berapa langkah sudah di bingungkan dengan jalan
bercabang, modal keyakinan dan dua orang lelaki di belakang, kami melanjutkan
langkah.
Jalan yang kami lalui hanya selebar satu tubuh, belum lagi
air yang mengalir, sepatu dan jilbab siap basah, siap kotor. Tak hanya itu kami
juga mesti melewati hutan-hutan kecil, tiada petunjuk arah selain bekas jejak
kaki yang tergaris di atas dedaunan yang runtuh.
Setelah keluar dari hutan, kami langsung dihadapkan dengan
aliran sungai dan hamparan batuan, dengan hati-hati kami melewatinya, bertumpu
pada batuan-batuan, berharap kaki tak nyemplung ke sungai.
Kelamaan menyebrangi sungai, kami tertinggal oleh dua laki-laki
remaja tadi. Kami benar-benar harus mencari jalan sendiri. Kini, yang mesti
kami lewati adalah hutan yang lebih lebat, bekas jejak kaki seakan tiada nampak.
Hanya dengan menerka-nerka sembari berdoa, agar tidak tersesat, ada terbesit
ragu, tapi tiada waktu untuk menunggu petunjuk arah.
Air terjun kecil berada di hadapan kami, kami kira itu
adalah tempat yang orang kata, tapi begitu sepi.
Berhenti sejenak disana,
setidaknya untuk meredakan lelah dan ragu untuk melangkah lagi. Sempat ingin
berbalik arah, tapi untunglah ada beberapa anak yang terlihat jalan terus
menaiki tanah yang cukup tinggi di seberang sungai ini.
Kami mengikutinya, dan lagi-lagi kehilangan arah. Jalan yang
cukup panjang dan menantang kami pilih. Tinggi, tinggi dan curam, hanya batuan,
akar-akar pohon, dan batang-batang kecil yang menjadi pegangan serta pijakan. Lelah
jangan ditanya, sempat ingin turun dan menyudahi, tapi sayang, air sudah
nampak. Itu tandanya kami akan sampai ditempat tujuan.
Sudah lama aku ingin naik gunung, namun niat itu belum juga
tertunai, dari sini saja aku merasakan begitu lelahnya kalau naik gunung. Baru naik
bukit aja udah kaya gini. Hahaha :v
Di atas, aku melihat air terjun, dan itu adalah kali pertama
aku melihat air terjun tinggi dengan mata ku sendiri. Aku terkagum, yaah,
sebentar lagi, kami hanya akan turun beberapa langkah, dan sampai disana.
Ingin berlama-lama bermain dengan air dan bebatuan disana,
ingin berlama-lama memandang air yang terjun dengan kecepatan yang tak bisa ku
hitung. Tapi waktu tak memungkinkan, tampat itu semakin sepi, kami memang harus
pulang.
Aku terpeleset! Ya, untung tidak seberapa sakit, dan tidak
seberapa malu. Tidak masalah, aku tak peduli. I’am OK!
Di sekitar batu besar air terjun, banyak sekali
sampah-sampah yang berserakan, kami memungutinya. Inilah yang salah dari
masyarakat kita, kurangnya kesadaran akan sampah. Alam yang masih asri dan
belum tersentuh tangan-tangan manusia, namun keadaannya seperti pemukiman
warga, penuh akan sampah. Apa salahnya tas besar dan kantong yang berkeliling
itu untuk menaruh sampah sementara waktu. Padahal bekas bungkusan makanan yang
sudah habis tak lebih berat dari bungkusnya yang masih berisi. Tidak bisa
dikata masayarakat cerdas kalau buang sampah saja masih tak kenal tempat. Apa
guna kita sekolah berbelas-belas tahun dengan peringatan “Buanglah sampah pada
tempatnya, Kebersihan adalah sebagian dari iman” kalau nyatanya buang sampah
saja masih sembarangan. Be smart ya! Ngetrip boleh!
Tapi sampahnya dibawa! Biar lebih keren!
Lanjut, kami mencari jalan lain untuk pulang. Turun tentu
lebih sulit daripada naiknya. Rintik hujan menyapa kulit, langit juga mulai
menggelap, kadaan di dalam hutan menegangkan. Pikiranku sudah mengarah pada
hal-hal aneh nan menakutkan. Aku berfikir bagaimana kalau tersesat dan tak ada
seorang pun membantu disini, kita akan tinggal dalam hutan ini dan bermalam
tanpa selimut dalam hutan. Haaa.. menyeramkan!
Tapi untuk kakak-kakak itu memberikan keyakinan, kita tak
mungkin tak sampai rumah. Hanya aliran sungai yang menjadi petunjuk arah, dan
kami bertemu dengan air terjun pertama yang kami temui sebelumnya. Aku jadi
yakin kami bisa pulang.
Terpeleset, terjatuh, ya begitulah, medan yang tak mudah
kami lalui, tapi pengalaman ini tidak akan pernah terlupakan. Menyenangkan sekali,
walau harus pulang dengan keadaan basah berbalut pasir dan lumpur.
Comments
Post a Comment